Kamis, 23 September 2010

Ide-Ide Gila Bisnis

Tak seperti para pebisnis lainnya, para pencetus ide ‘gila’ ini benar-benar tak pernah patuh pada pakem. Justru karena ide-ide ‘gila’ mereka banyak peluang bisnis tercipta, sesuatu yang luput dari sensor pebisnis biasa.

Sekalipun seorang pemasar jempolan siapa yang berani menerima tantangan menjual lapangan golf yang hanya memiliki dua hole? Sedangkan 16 hole sisanya dijual ke mitra kerjanya dengan cara ketengan? Dan siapa yang mempunyai ide ‘tak masuk akal,’ itu. Bagi Anda yang belum pernah melihat lapangan golf ketengan ini bukan sesuatu lelucon, tetapi memang benar-benar ada yakni di Pantai Glagah, Yogyakarta. Penggagasnya adalah kakak beradik Purdie E. Chandra dan Muhammad J. Prasetya.

Dua kakak beradik ibarat mata air yang tak pernah kering dengan ide-ide ‘gila’ dalam membuka peluang bisnis. Sebelum keduanya berkolaborasi untuk membangun lapangan golf. mereka secara pribadi telah menelurkan beberapa peluang bisnis yang dimulai dengan ide-ide ‘gila.’ Bahkan, dalam sebuah seminar di Batam beberapa waktu Je—panggilan akrab Muhammad J. Prasetya, berkelakar bahwa dia dan kakaknya, Purdie, sebaiknya nggak usah ketemu. Kenapa? “Kalau ketemuan kami musti gatal bikin bisnis baru dengan ide yang nyleneh—tidak masuk akal Red,” katanya.

Je, misalnya, memiliki ide yang sebelumnya tak pernah terpikirkan orang, yakni dengan membuat terminal tiket penerbangan. Membeli tiket pesawat terbang di terminal tiket gagasan Je, Anda layaknya berada di sebuah bandara. Berbagai counter untuk berbagai maskapai penerbangan tersedia di terminal tiket milik Je di Yogyakarta tersebut lengkap dengan fasilitas executive lounge nya. Pertama, memang terkesan aneh, Jual tiket kok tampak ribet. Namun, jangan tanya hasilnya. Sekarang omzetnya mencapai puluhan juta per harinya, ketimbang saat dia hanya buka konter biasa yang rata-rata penghasilannya hanya Rp 5 juta-an per hari.

Purdie, tak kalah dalam hal ide ‘gila.’ Pendiri lembaga pendidikan Primagama ini, mendirikan semacam sekolah yang bisa mendidik orang-orang biasa menjadi entrepreneur yang disebut Entrepreneur University. Ada dua konsep konvensional yang hendak diterobos oleh Purdie. Pertama, kemampuan entrepreneurship ini bisa diajarkan, tidak sebagaimana keyakinan sebagian besar masyarakat kita saat ini yang percaya bahwa entrepreneurship merupakan bakat yang hanya dianugerahkan kepada orang-orang tertentu. Kedua, lembaga pendidikan ini tidak akan pernah memberikan sertifikat atau tanda kelulusan atau surat keterangan apa pun berkaitan dengan kemampuan dari ‘mahasiswa’-nya. Bahkan dalam setiap mentoring nya, Purdie mau mensubsidi sekitar Rp 2 juta selama enam bulan bagi peserta yang saat itu memutuskan untuk keluar dari pekerjaannya.

Ternyata, meski tanpa memberikan sertifikat apa pun, lembaga pendidikan ini banyak diserbu peminat. Kelak di kemudian hari, terbukti banyak ‘lulusan’-nya yang benar-benar menjadi pengusaha. Sukses EU tersebut banyak mengilhami pengusaha lainnya untuk membikin ‘kursus’ serupa. Khoirussalim Ikhs, pemilik Country Donut— misalnya, kini tengah mengembangkan pendidikan serupa dengan Puspo Wardoyo, pemilik waralaba Rumah Makan Ayam Bakar Wong Solo.

Je dan Purdie kini sibuk membuat pendidikan TK yang juga diwaralabakan. Pertanyaan kita, apa sih hebatnya TK milik Yayasan Primagama tersebut sehingga mampu diwaralabakan seperti lembaga bimbingan tesnya? Hanya Purdi dan Je yang bisa menjawabnya.

Ide ‘gila’ juga diusung sejumlah pengusaha di Bandung. Mereka mendirikan sejumlah outlet yang khusus menjual barang-barang bekas, yang dikenal sebagai babe (barang bekas) atau base (barang seken).

Kalau Anda mengira berbelanja barang bekas ini di tempat yang becek dan kumuh, Anda salah besar. Berbelanja di outlet ini tak ubahnya berbelanja di sebuah supermarket atau hypermarket yang sejuk.

Bagi Anda, yang kelupaan membawa uang cash, jangan cemas karena Anda bisa menggunakan kartu kredit untuk bisa membawa pulang barang-barang bekas ini.

Yang tak kalah ‘gila’-nya adalah ide Gunawan Widjaya dari PT Permata Bumi Kencana. Ia menjual lahan atau kapling pemakaman untuk kalangan atas.Lebih ‘gila’nya lagi, ia membuat konsep lahan tersebut untuk dijadikan tempat pemakaman sekaligus tempat wisata.

Bambang Eko Putro dari Cimahi juga memiliki ide yang cukup ‘gila’ yakni membuat dendeng dari jantung pisang. Selama ini, jantung pisang hampir-hampir tidak memiliki nilai ekonomis, kecuali dibuat sayur oleh orang-orang yang kepepet. Bahkan, malah sebagian masyarakat membuangnya. Tetapi dengan ide ‘gila’ dan sedikit sentuhan teknologi tradisional Bambang bisa menaikkan nilai ekonomis jantung pisang dengan cara membuatnya sebagai dendeng yang rasanya tak kalah gurih dengan dendeng hewani. Untuk 1 kg dendeng jantung pisang dilego Rp 12.000. Peminatnya pun berjibun.

Muhammad Imran dari Yogyakarta juga memiliki ide ‘gila’ yakni menciptakan alat pengusir hantu yang disebut Klasindo Exorcist. Padahal, keberadaan hantu sendiri saat ini masih sering diperdebatkan. Tetapi Imran telah melangkah lebih jauh dengan menciptakan alat tersebut. Konon selain bisa mengusir hantu alat ini juga bisa mengusir santet.



Raja factory outlet dari Bandung, Perry Tristianto Tedja juga termasuk pebisnis yang memiliki ide-ide ‘gila.’ Di saat para pebisnis yang bergerak di bidang fesyen membangun outlet atau butik-butik di pusat kota, ia malah bergerilya dari pinggiran kota. Ia mengusung konsep outlet di sebuah kebun, misalnya All About Strawberry di Cihanjuang dan Temptation di Puncak Bogor. Sebelumnya, ia membangun beberapa outlet di jalan tol. Semula orang mengira siapa yang mau berbelanja di jalan bebas hambatan? Tetapi dengan ide ‘gila’-nya tersebut Perry membuktikan bahwa produk yang dipajang di outlet-nya yang terletak di jalan tol laris manis. Bahkan outlet-nya yang terletak di tengah kebun sudah mulai disambangi pembeli. Omzet dari Temptation di Puncak Bogor sudah mencapai Rp 500 juta per bulan. Sebuah pohon duit di tengah kebun.

Roger Yeh, CEO Raksa Pratikara—sebuah perusahaan asuransi terkemuka di Jakarta, termasuk orang yang berani bertaruh dengan ide ‘gila’nya. Ia berani mempertaruhkan investasi ( di luar investasi waktu dan SDM) Rp 900 juta untuk membangun Raksa Gold Club, suatu layanan plus untuk para nasabah (tanpa memungut fee tambahan) yang mobilnya memiliki nilai pertanggungan di atas US$ 70 ribu. Nasabah selaksa dimanja dengan layanan pijat, medicure, pedicure, Spa, browsing internet dan beberapa layanan lainnya. Ide Roger Yeh ini awalnya bahkan sempat ditentang oleh beberapa orang karyawannya. Tetapi ide yang lazimnya diterapkan hanya di dunia penerbangan dan perbankan itu ternyata telah mendongkrak popularitas Raksa, terutama di segmen asuransi mobil mewah. Dalam kurun waktu satu tahun, member Raksa Gold Club melesat dua kali lipat. Para nasabah pun puas dengan layanan tersebut.

Beberapa contoh di atas, adalah sekelumit dari sepak terjang para pengusaha yang dengan jenius berhasil mewujudkan ide gila nya. Di luar itu, mungkin di kota-kota besar lainnya, ide gila bahkan lebih gila lagi telah dilakukan oleh para pelaku bisnis seperti di Surabaya, misalnya, yang mengembangkan klinik kesehatan keliling, atau Ade Syarifah, pemilik Fantastik Tour & Travel di Batam, yang menerapkan jemput bola ke konsumen dengan menjual tiket penerbangan menggunakan sepeda motor.

Dalam dunia bisnis agaknya diperlukan orang-orang yang memiliki ide ‘gila’ untuk mendobrak kebekuan. Di dunia ini segalanya selalu berubah, tak ada yang abadi kecuali perubahan itu sendiri. Dan agaknya menciptakan perubahan itu merupakan dunia orang-orang yang memiliki ide ‘gila.’

(Tulisan ini diambil dari : http://forum.kafegaul.com/archive/in.../t-134923.html)

Tidak ada komentar: